Translate

Selasa, 22 Januari 2013

Menciptakan Keunggulan Bersaing



MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING

Persaingan yang sangat ketat menuntut para pengelola bisnis untuk menciptakan model-model baru dalam pengelolaan aliran produk dan informasi. Supply Chain Management (SCM) adalah teknik terbaru dalam memenangkan persaingan melalui pengelolaan aliran material/produk dan informasi. Banyak perusahaan-perusahaan ternama di dunia yang telah sukses dalam mengimplementasikan konsep-konsep SCM. Nama nama seperti P & G, Wal-Mart, Hawlet Packard, IBM, Chrysler, Dell Computers dan Sun Microsystem adalah sebagian nama-nama perusahaan besar yang telah sukses meraup keuntungan besar atas kesuksesannya mengimplementasikan konsep-konsep SCM. Namun di balik cerita sukses tersebut pastilah banyak perusahaan yang gagal. Terlepas dari sukses dan gagal tersebut, konsep SCM harus dipahami oleh para pelaku bisnis terutama yang menangani aliran material/produk dan informasi terlepas dari posisi relatifnya terhadap konsumer akhir.
Kebanyakan kegiatan dan tanggung jawab perusahaan hanya sampai pada keluarnya produk dari gudang. Inilah prinsip yang sangat keliru. Perusahaan haruslah bertanggung jawab terhadap seluruh rangkaian proses mulai dari perancangan produk, peramalan kebutuhan, pengadaan material, produksi, pengendalian persediaan, penyimpanan, distribusi/transportasi ke distributor center, wholesaler, pedagang kecil, retailer, pelayanan pada pelanggan, proses pembayaran, dan sampai pada konsumen akhir. Untuk mengatur / memanage aliran material/produk, informasi dari seluruh aktivitas perusahaan diperlukannya suatu konsep yang disebut dengan Supply Chain Management melewati beberapa tahapan fisik maupun non fisik. Sebuah produk akan sampai ke tangan pemakai akhir setelah setidaknya melalui beberapa proses dari pencarian bahan baku, proses produksi, dan proses distribusi atau transportasi. Proses-proses ini melibatkan berbagai pihak yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Penyedia bahan baku (pemasok) mensuplai kebutuhan produksi para perusahaan manufaktur yang akan mengolah bahan baku tersebut menjadi produk jadi. Produk jadi disampaikan ke pemakai akhir lewat pusat-pusat distribusi, ritel, pedagang kecil, dan sebagainya. Rangkaian pihak-pihak yang menangani aliran produk inilah yang dinamakan dengan istilah Supply Chain (SC). Gambar 1memberikan ilustrasi sebuah supply chain yang sederhana. Sebuah SC akan memiliki komponen-komponen yang biasanya disebut channel. Misalnya ada supplier, manufaktur, distribution center, wholesaler, dan retailer. Semua channel tersebut bekerja untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir. Sebuah pemasok mungkin sekaligus adalah industri manufaktur. Dengan kata lain,sebuah SC bisa saja melibatkan sejumlah industri manufaktur dalam satu rantai hulu ke hilir. Demikian juga, SC tidak selalu merupakan rantai lurus. Sebuah industri manufaktur bisa memiliki ratusan bahkan ribuan pemasok. Produk-produk yang dihasilkan oleh sebuah industri mungkin didistribusikan oleh beberapa pusat distribusi yang melayani ratusan bahkan ribuan wholesaler dan ritel, pedagang kecil dan sebagainya.Setiap channel dalam SC akan memiliki aktivitas-aktivitas yang saling mendukung.
Secara keseluruhan aktivitas-aktivitas tersebut meliputi perancangan produk, peramalan kebutuhan, pengadaan material, produksi,pengendalian persediaan, distribusi/transportasi, penyimpanan/pergudangan, dukungan pelayanan kepada pelanggan, proses pembayaran, dan sebagainya. Pada tingkatan yang lebih strategis ada aktivitas-aktivitas seperti pemilihan pemasok, penentuan lokasi pabrik, gudang, pusat distribusi, dan sebagainya. Secara tradisonal, semua aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan tanpa atau dengan sedikit koordinasi. Istilah cross-fucsional team misalnya, tidak banyak diaplikasikan dalam manajemen supply chain tradisional. Tiap bagian berusaha membuat ukuranukuran tersendiri dalam menentukan kesuksesan pekerjaannya. Demikian juga hubungan antar channel dalam supply chain. Hubungan antara pemasok dengan perusahaan yang disuplainya juga hanya terbatas pada transaksi jual beli. Pola-pola negosiasi benar-benar mementingkan pihak-pihak secara individual,dan bukan mengacu pada kinerja keseluruhan pihak yang menjadi pembentuk sebuah supply cahin secara holistik.Pemasok berkeinginan untuk memindahkan atau menjual produknya secepat dan sebanyak mungkin dengan harga yang tinggi, sementara perusahaan yang disuplainya menginginkan harga yang murah dan pengiriman yang cepat. Pola hubungan seperti ini dinamakan adversarial.

A. Analisa Pesaing

Lingkungan bisnis senantiasa berubah dan perubahan tersebut semakin lama semakin cepat. Akselerasi perubahan ini disebabkan berkembangnya secara cepat faktor-faktor penting antara lain :
1. Konsumen yang semakin kritis, membutuhkan produk atau jasa yang semakin berkualitas dengan harga murah dan bisa diperoleh dengan mudah dan cepat.
2. Infrastruktur telekomunikasi, informasi, transportasi dan perbankan yang semakin canggih sehingga memungkinkan berkembangnya model-model baru dalam manajemen aliran material/produk. Munculnya internet misalnya, memungkinkanterjadinya transaksi-transaksi elektronik yang dikenal dengan nama Elektronik Commerce (ECommerce). Praktek E-Commerce dapat dilakukan karena informasiinformasi tersedia dan mudah diakses lewat internet, pembayaran secara aman bisa dilakukan secara aman dan cepat dengan menggunakan jasa pihak ketiga.
3. Kesadaran akan pentingnya aspek sosial dan lingkungan. Kalangan bisnis semakin ditekan untuk memperhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan, baik atas instruksi pemerintah maupun atas kesadaran kalangan bisnis sendiri bahwa bisnisnya tergantung pada konsumen yang semakin tahu akan pentingnya aspek lingkungan dalam hidup mereka. Industri manufaktur dewasa ini telah banyak yang memasukkan konsep-konsep keramahan pada lingkungan mulai dari proses perancangan produknya, proses produksi, sampai pada proses distribusinya.
Ketiga faktor diatas, ditambah dengan adanya globalisasi dan perubahan peta ekonomi dunia ke arah meningkatnya kemampuan ekonomi negara-negara dunia ketiga, telah menciptakan banyak paradigma baru dalam dunia bisnis. Salah satu paradigma penting adalah meningkatnya persaingan antar produk maupun jasa di pasaran. Hanya produk atau jasa yang aspiratif terhadap kepentingan konsumen yang pada akhirnya akan bisa bertahan. Perusahaan-perusahaan ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari dukungan berbagai pusat ilmu pengetahuan seperti perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset, dan sebagainya. Lembaga-lembaga seperti ini banyak melakukan kajian-kajian maupun pengembanganpengembangan inovatif terhadap proses-proses bisnis. Dalam kaitannya dengan logistik misalnya, lembaga riset yang memfokuskan penelitiannya pada bidang-bidang supply chain management (SCM) menjamur dengan cepat.
Prinsip SCM pada hakekatnya adalah sinkronisasi dan koordinasi aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan aliran material/produk, baik yang ada dalam satu organisasi maupun antar organisasi. Aliran material/produk dalam satu organisasi, misalkan sebuah industri manufaktur, adalah sesuatu yang komplek. Penanganannya membutuhkan campur tangan semua pihak, bukan hanya mereka-mereka yang dilalui langsung oleh aliran material/produk secara fisik, tetapi juga bagian-bagian lain seperti bagian perancangan produk, pemasaran, akuntansi, dan sebagainya. Pada praktek tradisional, bagian-bagianter sebut saling terpisah. Pada SCM, semua bagian harus bekerja sama membentuk sebuah tim yang disebut dengan cross functional team. Salah satu implementasi dari cross functional team adalah pada perancangan produk. Bagian pemasaran, produksi, perencanaan proses, pengadaan material, dan lain-lain duduk bersama untuk membahas berbagai aspek dari rancangan produk tersebut sehingga akhirnya keluar produk baru yang benar-benar mencerminkan selera konsumen dan bisa diproduksi dengan cepat dan mudah. Konsep ini dikenal dengan istilah Concurrent Engineering. Sinkronisasi aktivitas-aktivitas bukan hanya perlu pada bagian-bagian internal organisasi. Pendekatan SCM sangat menyadari bahwa sebagian besar bisnis dari sebuah industri harus dikerjakan atas dasar kerja sama dengan pihak luar.
Apabila perusahaan ingin sukses dalam kompetisinya, mau tidak mau kemampuannya bekerja sama dengan pihak luar harus ditingkatkan. Bahan baku yang sering menjadi komponen utama dari harga pokok produksi sebuah produk diperoleh dari para pemasok (pihak luar). Urusan pengiriman bahan baku dari pemasok maupun produk jadi ke para distributor sering kali menggunakan jasa pihak ketiga (pihak luar). Pembayaran trasaksi-transaksi bisnis dengan pihak ketiga membutuhkan jasa perbankan (pihak luar). Teknologi dan sistem informasi mungkin juga disediakan dan dipelihara oleh pihak ketiga. Hampir semua aktivitas akhirnya harus berkaitan dengan pihak luar. Konsekuensinya, hanya perusahaan-perusahaan yang mampu menjalin dan memelihara hubungan dengan pihak luar tersebut yang akan bisa bertahan dalam persaingan pasar.
Fokus utama dari dua definisi tersebut adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Pelanggan dalam konsep SCM adalah “raja” yang harus diberikan pelayanan sebaikbaiknya. Semua supply chain pada hakekatnya memperebutkan pelanggan atau pemakai akhir dari produk atau jasa yang ditawarkan. Pihak-pihak yang berada dalam satu rantai supply chain adalah pihak-pihak yang harus bekerja sama satu sama lain untuk sedapat mungkin meningkatkan pelayanan dengan harga yang murah. Persaingan dalam konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan antar individu perusahaan, Kelemahan praktek tradisional yang bersifat adversial adalah terfokusnya aktivitas maupun ukuran keberhasilan pada bagianbagian kecil dari supplay chain yang sering kali justru kontradiktif dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir atau pelanggan.

B. Strategi Pesaing
Menciptakan sinkronisasi aktivitas-aktivitas yang beragam membutuhkan pendekatan holisitk, tidak ubahnya seperti mensinkronkan alat-alat musik dalam sebuah konser dimana alat yang bunyinya berbeda-beda bisa dimainkan bersama sehingga terdengar merdu. Prinsip utama yang harus dipegang dalam sinkronisasi aktivitas-aktivitas sebuah supply chain adalah untuk menciptakan resultan yang lebih besar, bukan hanya bagi tiap anggota rantai, tetapi bagi keseluruhan sistem. Kesuksesan implementasi prinsip ini biasanya membutuhkan perubahanperubahan pada tingkatan strategis maupun taktis. Sebaliknya, kegagalan biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen mendefinisikan langkahlangkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-komponen supply chain yang komplek ke arah yang sama.
Anderson, Britt, dan Favre (1997) memberikan 7 prinsip dalam SCM yang diperuntukkan bagi manajer dalam merumuskan keputusan strategis, yaitu :
1. Segmentasi pelanggan berdasarkan kebutuhannya.
2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang berbeda.
3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam perencanaan kebutuhan (demandplanning) sehingga bisa menghasilkan ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang optimal.
4. Deferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan percepat konversinyadisepanjang rantai supply cahin .
5. Kelola sumber-sumber suplai secara strategis untuk mengurangi ongkos kepemilikan dari material maupun jasa.
6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai supplay chain yang mendukung pengambilan keputusan berhirarki serta berikan gambaran yang jelas dari aliran produk, jasa, maupun informasi.
7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir.
Strategi yang paling mendasar dari sebah SCM berkaitan dengan perancangan konfigurasi fisik maupun manajemennya. Rancangan struktur supply chain , mulai dari konfigurasi jaringan antar channel sampai pada konfigurasi fasilitas di dalam sebuah channel, adalah pertanyaan yang sangat mendasar yang harus dijawab dalam SCM. Konfigurasi-konfigurasi tersebut ternyata tidak bisa dilepaskan dari karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply chain. Karakteristik produk dalam konteks ini dicirikan oleh berbagai aspek antara lian siklus hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas permintaannya, dan sebagainya.
1. Produk-produk fungsional dicirikan oleh siklus hidupnya yang panjang, variasinya sedikit, dan permintaannya yang relatif stabil serta bisa diprediksi dengan cukup baik. Produk-produk fungsional biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti garam, deterjen, sabun, ballpoin, buku tulis, minyak goreng dan sebagainya.
2. Produk-produk inovatif, permintaan yang tidak stabil dan sulit diramalkan, siklus hidupnya pendek. Produk inovatif biasanya muncul sebagai respon atas perubahan pasar yang cepat berubah atas sebagai akibat dari kemampuan teknologi dan inovasi yang bagu contohnya komputer. Pembagian kedua produk berdasarkan karakteristik-karakteristik di atas dengan jelas mengidentifikasikan kebutuhan akan perlakuan yang berbeda dalam aktivitas-aktivitas fisik maupun dalam mediasi pasar sebuah supply chain.
Pada produk-produk fungsional, fungsi mediasi pasar lebih jarang dan lebih mudah dilakukan karena siklus hidup produknya panjang akibat selera konsumen yang tidak banyak berubah. Dengan demikian, ongkosongkos mediasi pasar tidak perlu dijadikan fokus. Strategi yang tepat untuk produk-produk fungsional adalah efisiensi. Efisiensi membutuhkan dukungan struktural supplay chain yang ramping dan terintegrasi dengan baik. Struktur suppply chain yang seperti ini, oleh Christoper (1999) dinamakan Lean Supply Chain.
Fokus utama dalam mengelola Lean Supply chain adalah menekan ongkos-ongkos fisik yang terjadi disepanjang supply chain. Ongkosongkos tersebut berupa ongkos material, produksi, distribusi, penyimpanan, dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan koordinasi yang baik antar channel dalam sebuah supply chain, termasuk di dalamnya koordinasi untuk mengurangi dampak variabelitas dan ketidakpastian permintaan maupun suplai. Distributor misalnya, hendaknya memberikan rencana kebutuhan dalam jangka yang agak panjang sedemikian sehingga tidak terjadi perubahan-perubahan mendadak yang mengakibatkan seluruh rantai, terutama yang berada di sebelah hulu, menjadi “nervous”. Berbeda halnya dengan produkproduk fungsional, lean supply chain bukanlah strategi yang tepat untuk produk-produk inovatif. Keunggulan kompetitif produk inovatif terletak pada kemampuan supply chain untuk merespon kebutuhan pasar yang cepat berubah. Kunci keberhasilan disini adalah apa yang dinamakan agility . Agility untuk suatu supply chain memiliki implikasi kecepatan merespon kebutuhan pasar secara bersama-sama sebagai suatu tim. Tentu saja, kecepatan ini harus dimiliki semua pihak yang berada pada rantai supply chain ini. Distributor yang handal tidak bisa menjamin keunggulan bersaing apabila perusahaan yang mensuplai produkproduk yang didistribusikannya tidak mampu secara tepat merespon perubahan yang disyaratkan oleh pasar. Hubungan antar perusahaan menjadi faktor kritis dalam menciptakan agility sebuah supply chain. Strategi supply chain yang menekankan pada agility membutuhkan pola pikir yang cukup berbeda dengan pola pikir untuk strategi supply chain yang mendasarkan pada efisiensi. Untuk persediaan misalnya, orientasinya bukan untuk meminimasi ongkos-ongkos persediaan, tetapi lebih pada keputusan dimana persediaan harus disimpan. Seleksi pemasok tidak didasarkan pada harga yang ditawarkan, tetapi pada kecepatan dan fleksibilitasnya.

C. Menyeimbangkan Orientasi Pelanggan dan Pesaing
Mengelola rantai supply chain tidak semudah mengelola aktivitas-aktivitas dalam satu perusahaan. Kompleksitas permasalahan meningkat dengan cepat begitu pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi dilihat dalam lingkup keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung hilir. Karena kompleksnya permasalahan pengelolaan tersebut, banyak sekali jebakan-jebakan yang bisa mengakibatkan kegagalan pengelolaan sebuah supply chain. Lee dan Billington (1992) mendeskripsikan 14 jebakan yang harus diperhatikan dalam SCM, yaitu :
1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap channel menggunakan ukuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk membuat “joint metrics” yang mengukur kinerja rantai secara keseluruhan.
2. Customer service tidak didefinisikan dengan jelas, dan tidak ada pengukuran terhadap kelambatan respon dalam pelayanan, tidak ada pengukuran terhadap backorder profile, dan sebagainya.
3. Status data pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat
4. Sistem informasi tidak efisien
5. Dampak ketidakpastian diabaikan.
6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidak-pastian tidak diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut, kadang-kadang terlalu statis.
7. Diskriminasi terhadap internal customer. Prioritasnya rendah, service level-nya tidak terukur, sistem insentifnya tidak erat.
8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak bagus.
9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada pertimbangan efek persediaan dan waktu respon.
10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.
11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.
12.Perancangan produk maupun proses tidak memperhitungkan konsep supply chain.
13. Perancangan dan operasional supply chain dibuat secara terpisah
14. Supply chain tidak lengkap, fokusnya sering hanya pada operasi internal saja, tidak bisa membedakan antara pelayanan terhadap : immediate customers” dengan “end customers”.
Perkembangan-perkembangan terbaru dalam SCM akan bermunculan, Supply Chain Management, yang baru saja mencapai masa keemasannya, akan cepat terdengar usang, “Saat ini menjadi competitive advantage , nanti akan menjadi competitive imperative” , Demikian Nichale Hammer, profesor di MIT Menggambarkannya. SCM akan segera menjadi keharusan bagi setiap perusahaan yang ingin bertahan, bukan bagi perusahaan yang ingin memimpin kompetisi di pasaran. Seiring dengan menyebarnya konsep-konsep SCM di dunia industri, baik jasa maupun manufaktur, konsepkonsep yang lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM akan bermunculan, yaitu:
1. Fourth Party Logistics (4PL), dikembangkan oleh Anderson consultant. Konsep : Memanfaatkan pihak ketiga untuk mengatur/memanaje hubungan antara sebuah perusahaan manufaktur dengan perusahaan shipment.
2. JIT II, dikembangkan oleh Bose corporation  Prinsip JIT II : Adanya kemitraan yang erat antara perusahaan dengan pemasoknya. Pemasok, pada konsep JIT II ini, akan memiliki wakil di perusahaan yang disuplainya. Wakil tersebut nantinya akan punya otoritas untuk membuat order bahan baku atau komponen yang disuplai oleh perusahaannya, menggantikan peran bagian pembelian yang ada pada praktek yang lumrah dewasa ini.
3. Vendor Managed Inventory (VMI), yang merupakan salah satu variasi dari JIT II. Konsep ini banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai ritel. Selama ini ritel berkewajiban untuk membuat order pembelian untuk menjaga kelangsungan ketersediaan setiap item yang dijual. Pada VMI, pemasoklah yang nantinya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menentukan kapan suatu item harus dikirim ke ritelnya, berdasarkan informasi tingkat penjualan dan ketersediaan stok yang ada di ritel tersebut.
4. Global Pipeline Management (GPM). Hewitt (1999) menuliskan bahwa kelemahan utama dari SCM adalah kebutuhan untuk melakukan koordinasi rencana-rencana kerja antar pihak-pihak yang berbeda organisasi. Banyak organisasi yang gagal mengimplementasikan SCM karena ketidakmampuannya melakukan koordniasi antar organisasi. Konsep GPM didasarkan pada teori kontrol, dimana aliran material/produk akan optimal bila dikontrol dari satu titik. Sejalan dengan konsep ini, GPM merekomendasikan bahwa aliran material/produk hendaknya dikendalikan oleh satu pihak atau channel dalam supply chain dan semua channel yang lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi yang diperlukan. U

Tidak ada komentar:

Posting Komentar