MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING
Persaingan yang sangat ketat menuntut para pengelola bisnis untuk
menciptakan model-model baru dalam pengelolaan aliran produk dan informasi. Supply
Chain Management (SCM) adalah teknik terbaru dalam memenangkan persaingan melalui
pengelolaan aliran material/produk dan informasi. Banyak
perusahaan-perusahaan ternama di dunia yang telah sukses dalam
mengimplementasikan konsep-konsep SCM. Nama nama seperti P & G, Wal-Mart,
Hawlet Packard, IBM, Chrysler, Dell Computers dan Sun Microsystem adalah
sebagian nama-nama perusahaan besar yang telah sukses meraup keuntungan besar
atas kesuksesannya mengimplementasikan konsep-konsep SCM. Namun di balik cerita
sukses tersebut pastilah banyak perusahaan yang gagal. Terlepas dari sukses dan
gagal tersebut, konsep SCM harus dipahami oleh para pelaku bisnis terutama yang
menangani aliran material/produk dan informasi terlepas dari posisi relatifnya
terhadap konsumer akhir.
Kebanyakan kegiatan dan tanggung jawab perusahaan
hanya sampai pada keluarnya produk dari gudang. Inilah prinsip yang sangat
keliru. Perusahaan haruslah bertanggung jawab terhadap seluruh rangkaian proses
mulai dari perancangan produk, peramalan kebutuhan, pengadaan material,
produksi, pengendalian persediaan, penyimpanan, distribusi/transportasi ke
distributor center, wholesaler, pedagang kecil, retailer, pelayanan pada
pelanggan, proses pembayaran, dan sampai pada konsumen akhir. Untuk mengatur / memanage
aliran material/produk, informasi dari seluruh aktivitas perusahaan
diperlukannya suatu konsep yang disebut dengan Supply Chain Management melewati beberapa tahapan fisik maupun non fisik. Sebuah produk akan sampai
ke tangan pemakai akhir setelah setidaknya melalui beberapa proses dari
pencarian bahan baku, proses produksi, dan proses distribusi atau transportasi.
Proses-proses ini melibatkan berbagai pihak yang berhubungan antara satu dengan
yang lainnya. Penyedia bahan baku (pemasok) mensuplai kebutuhan produksi para
perusahaan manufaktur yang akan mengolah bahan baku tersebut menjadi produk
jadi. Produk jadi disampaikan ke pemakai akhir lewat pusat-pusat distribusi,
ritel, pedagang kecil, dan sebagainya. Rangkaian pihak-pihak yang menangani
aliran produk inilah yang dinamakan dengan istilah Supply Chain (SC).
Gambar 1memberikan ilustrasi sebuah supply chain yang sederhana. Sebuah
SC akan memiliki komponen-komponen yang biasanya disebut channel. Misalnya ada supplier,
manufaktur, distribution center, wholesaler, dan retailer. Semua channel
tersebut bekerja untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir. Sebuah pemasok
mungkin sekaligus adalah industri manufaktur. Dengan kata lain,sebuah SC bisa
saja melibatkan sejumlah industri manufaktur dalam satu rantai hulu ke hilir.
Demikian juga, SC tidak selalu merupakan rantai lurus. Sebuah industri
manufaktur bisa memiliki ratusan bahkan ribuan pemasok. Produk-produk yang
dihasilkan oleh sebuah industri mungkin didistribusikan oleh beberapa pusat
distribusi yang melayani ratusan bahkan ribuan wholesaler dan ritel,
pedagang kecil dan sebagainya.Setiap channel dalam SC akan memiliki
aktivitas-aktivitas yang saling mendukung.
Secara keseluruhan aktivitas-aktivitas
tersebut meliputi perancangan produk, peramalan kebutuhan, pengadaan material,
produksi,pengendalian persediaan, distribusi/transportasi,
penyimpanan/pergudangan, dukungan pelayanan kepada pelanggan, proses
pembayaran, dan sebagainya. Pada tingkatan yang lebih strategis ada
aktivitas-aktivitas seperti pemilihan pemasok, penentuan lokasi pabrik, gudang,
pusat distribusi, dan sebagainya. Secara tradisonal, semua aktivitas-aktivitas
tersebut dilakukan tanpa atau dengan sedikit koordinasi. Istilah cross-fucsional
team misalnya, tidak banyak diaplikasikan dalam manajemen supply chain tradisional.
Tiap bagian berusaha membuat ukuranukuran tersendiri dalam menentukan
kesuksesan pekerjaannya. Demikian juga hubungan antar channel dalam supply
chain. Hubungan antara pemasok dengan perusahaan yang disuplainya juga
hanya terbatas pada transaksi jual beli. Pola-pola negosiasi benar-benar mementingkan
pihak-pihak secara individual,dan bukan mengacu pada kinerja keseluruhan pihak
yang menjadi pembentuk sebuah supply cahin secara holistik.Pemasok
berkeinginan untuk memindahkan atau menjual produknya secepat dan sebanyak
mungkin dengan harga yang tinggi, sementara perusahaan yang disuplainya
menginginkan harga yang murah dan pengiriman yang cepat. Pola hubungan seperti
ini dinamakan adversarial.
A. Analisa Pesaing
Lingkungan bisnis senantiasa berubah dan
perubahan tersebut semakin lama semakin cepat. Akselerasi perubahan ini disebabkan berkembangnya secara cepat
faktor-faktor penting antara lain :
1. Konsumen yang semakin kritis, membutuhkan produk atau jasa yang semakin
berkualitas dengan harga murah dan bisa diperoleh dengan mudah dan cepat.
2. Infrastruktur telekomunikasi, informasi, transportasi dan perbankan yang
semakin canggih sehingga memungkinkan berkembangnya model-model baru dalam
manajemen aliran material/produk. Munculnya internet misalnya,
memungkinkanterjadinya transaksi-transaksi elektronik yang dikenal dengan nama
Elektronik Commerce (ECommerce). Praktek E-Commerce dapat
dilakukan karena informasiinformasi tersedia dan mudah diakses lewat internet,
pembayaran secara aman bisa dilakukan secara aman dan cepat dengan menggunakan jasa
pihak ketiga.
3. Kesadaran akan pentingnya aspek sosial dan lingkungan. Kalangan bisnis
semakin ditekan untuk memperhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan, baik
atas instruksi pemerintah maupun atas kesadaran kalangan bisnis sendiri bahwa bisnisnya
tergantung pada konsumen yang semakin tahu akan pentingnya aspek lingkungan
dalam hidup mereka. Industri manufaktur dewasa ini telah banyak yang memasukkan
konsep-konsep keramahan pada lingkungan mulai dari proses perancangan
produknya, proses produksi, sampai pada proses distribusinya.
Ketiga faktor diatas, ditambah dengan adanya globalisasi dan perubahan peta
ekonomi dunia ke arah meningkatnya kemampuan ekonomi negara-negara dunia
ketiga, telah menciptakan banyak paradigma baru dalam dunia bisnis. Salah satu
paradigma penting adalah meningkatnya persaingan antar produk maupun jasa di
pasaran. Hanya produk atau jasa yang aspiratif terhadap kepentingan konsumen
yang pada akhirnya akan bisa bertahan. Perusahaan-perusahaan ini ternyata tidak
bisa dilepaskan dari dukungan berbagai pusat ilmu pengetahuan seperti perguruan
tinggi, lembaga-lembaga riset, dan sebagainya. Lembaga-lembaga seperti ini
banyak melakukan kajian-kajian maupun pengembanganpengembangan inovatif
terhadap proses-proses bisnis. Dalam kaitannya dengan logistik misalnya,
lembaga riset yang memfokuskan penelitiannya pada bidang-bidang supply chain
management (SCM) menjamur dengan cepat.
Prinsip SCM pada hakekatnya adalah sinkronisasi dan koordinasi aktivitas-aktivitas
yang berkaitan dengan aliran material/produk, baik yang ada dalam satu
organisasi maupun antar organisasi. Aliran material/produk dalam satu organisasi, misalkan sebuah
industri manufaktur, adalah sesuatu yang komplek. Penanganannya membutuhkan campur
tangan semua pihak, bukan hanya mereka-mereka yang dilalui langsung oleh aliran
material/produk secara fisik, tetapi juga bagian-bagian lain seperti bagian
perancangan produk, pemasaran, akuntansi, dan sebagainya. Pada praktek
tradisional, bagian-bagianter sebut saling terpisah. Pada SCM, semua bagian
harus bekerja sama membentuk sebuah tim yang disebut dengan cross functional
team. Salah satu implementasi dari cross functional team adalah pada
perancangan produk. Bagian pemasaran, produksi, perencanaan proses,
pengadaan material, dan lain-lain duduk bersama untuk membahas berbagai aspek
dari rancangan produk tersebut sehingga akhirnya keluar produk baru yang
benar-benar mencerminkan selera konsumen dan bisa diproduksi dengan cepat dan
mudah. Konsep ini dikenal dengan istilah Concurrent Engineering. Sinkronisasi
aktivitas-aktivitas bukan hanya perlu pada bagian-bagian internal organisasi.
Pendekatan SCM sangat menyadari bahwa sebagian besar bisnis dari sebuah
industri harus dikerjakan atas dasar kerja sama dengan pihak luar.
Apabila perusahaan ingin sukses dalam kompetisinya, mau tidak mau kemampuannya
bekerja sama dengan pihak luar harus ditingkatkan. Bahan baku yang sering
menjadi komponen utama dari harga pokok produksi sebuah produk diperoleh dari
para pemasok (pihak luar). Urusan pengiriman bahan baku dari pemasok maupun
produk jadi ke para distributor sering kali menggunakan jasa pihak ketiga
(pihak luar). Pembayaran trasaksi-transaksi bisnis dengan pihak ketiga
membutuhkan jasa perbankan (pihak luar). Teknologi dan sistem
informasi mungkin juga disediakan dan dipelihara oleh pihak ketiga. Hampir
semua aktivitas akhirnya harus berkaitan dengan pihak luar. Konsekuensinya,
hanya perusahaan-perusahaan yang mampu menjalin dan memelihara hubungan dengan
pihak luar tersebut yang akan bisa bertahan dalam persaingan pasar.
Fokus utama dari dua definisi tersebut
adalah sinkronisasi proses untuk kepuasan pelanggan. Pelanggan dalam konsep SCM
adalah “raja” yang harus diberikan pelayanan sebaikbaiknya. Semua supply
chain pada hakekatnya memperebutkan pelanggan atau pemakai akhir dari
produk atau jasa yang ditawarkan. Pihak-pihak yang berada dalam satu rantai supply
chain adalah pihak-pihak yang harus bekerja sama satu sama lain untuk
sedapat mungkin meningkatkan pelayanan dengan harga yang murah. Persaingan dalam
konteks SCM adalah persaingan antar rantai, bukan antar individu perusahaan,
Kelemahan praktek tradisional yang bersifat adversial adalah terfokusnya
aktivitas maupun ukuran keberhasilan pada bagianbagian kecil dari supplay
chain yang sering kali justru kontradiktif dengan tujuan akhir untuk
meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir atau pelanggan.
B. Strategi
Pesaing
Menciptakan sinkronisasi aktivitas-aktivitas yang beragam membutuhkan
pendekatan holisitk, tidak ubahnya seperti mensinkronkan alat-alat musik dalam
sebuah konser dimana alat yang bunyinya berbeda-beda bisa dimainkan bersama
sehingga terdengar merdu. Prinsip utama yang harus dipegang dalam sinkronisasi
aktivitas-aktivitas sebuah supply chain adalah untuk menciptakan
resultan yang lebih besar, bukan hanya bagi tiap anggota rantai, tetapi bagi
keseluruhan sistem. Kesuksesan implementasi prinsip ini biasanya membutuhkan
perubahanperubahan pada tingkatan strategis maupun taktis. Sebaliknya,
kegagalan biasanya ditandai oleh ketidakmampuan manajemen mendefinisikan
langkahlangkah yang harus ditempuh dalam menggiring komponen-komponen supply
chain yang komplek ke arah yang sama.
Anderson, Britt, dan Favre (1997)
memberikan 7 prinsip dalam SCM yang diperuntukkan bagi manajer dalam merumuskan
keputusan strategis, yaitu :
1. Segmentasi
pelanggan berdasarkan kebutuhannya.
2. Sesuaikan jaringan logistik untuk melayani kebutuhan pelanggan yang
berbeda.
3. Dengarkan signal pasar dan jadikan signal tersebut sebagai dasar dalam
perencanaan kebutuhan (demandplanning) sehingga bisa menghasilkan
ramalan yang konsisten dan alokasi sumber daya yang optimal.
4. Deferensiasi produk pada titik yang lebih dekat dengan konsumen dan
percepat konversinyadisepanjang rantai supply cahin .
5. Kelola
sumber-sumber suplai secara strategis untuk mengurangi ongkos kepemilikan dari
material maupun jasa.
6. Kembangkan strategi teknologi untuk keseluruhan rantai supplay chain yang
mendukung pengambilan keputusan berhirarki serta berikan gambaran yang jelas
dari aliran produk, jasa, maupun informasi.
7. Adopsi pengukuran kinerja untuk sebuah supply chain secara
keseluruhan dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen akhir.
Strategi yang paling mendasar dari sebah SCM berkaitan dengan perancangan
konfigurasi fisik maupun manajemennya. Rancangan struktur supply chain ,
mulai dari konfigurasi jaringan antar channel sampai pada konfigurasi fasilitas
di dalam sebuah channel, adalah pertanyaan yang sangat mendasar yang harus dijawab
dalam SCM. Konfigurasi-konfigurasi tersebut ternyata tidak bisa dilepaskan dari
karakteristik produk maupun jasa yang dihasilkan oleh sebuah supply chain.
Karakteristik
produk dalam konteks ini dicirikan oleh berbagai aspek antara lian siklus
hidupnya, jumlah variasinya, stabilitas permintaannya, dan sebagainya.
1. Produk-produk fungsional dicirikan oleh siklus hidupnya yang panjang, variasinya
sedikit, dan permintaannya yang relatif stabil serta bisa diprediksi dengan
cukup baik. Produk-produk fungsional biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar, seperti garam, deterjen, sabun, ballpoin, buku tulis, minyak goreng dan sebagainya.
2. Produk-produk inovatif, permintaan yang tidak stabil dan sulit
diramalkan, siklus hidupnya pendek. Produk inovatif biasanya muncul sebagai respon
atas perubahan pasar yang cepat berubah atas sebagai akibat dari kemampuan
teknologi dan inovasi yang bagu contohnya komputer. Pembagian kedua produk
berdasarkan karakteristik-karakteristik di atas dengan jelas
mengidentifikasikan kebutuhan akan perlakuan yang berbeda dalam
aktivitas-aktivitas fisik maupun dalam mediasi pasar sebuah supply chain.
Pada produk-produk fungsional, fungsi mediasi pasar lebih jarang dan lebih
mudah dilakukan karena siklus hidup produknya panjang akibat selera konsumen
yang tidak banyak berubah. Dengan demikian, ongkosongkos mediasi pasar tidak
perlu dijadikan fokus. Strategi yang tepat untuk produk-produk fungsional
adalah efisiensi. Efisiensi membutuhkan dukungan struktural supplay chain yang
ramping dan terintegrasi dengan baik. Struktur suppply chain yang
seperti ini, oleh Christoper (1999) dinamakan Lean Supply Chain.
Fokus utama dalam mengelola Lean
Supply chain adalah menekan ongkos-ongkos fisik yang terjadi disepanjang supply
chain. Ongkosongkos tersebut berupa ongkos material, produksi, distribusi,
penyimpanan, dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan koordinasi yang baik antar
channel dalam sebuah supply chain, termasuk di dalamnya koordinasi untuk
mengurangi dampak variabelitas dan ketidakpastian permintaan maupun suplai. Distributor
misalnya, hendaknya memberikan rencana kebutuhan dalam jangka yang agak panjang
sedemikian sehingga tidak terjadi perubahan-perubahan mendadak yang
mengakibatkan seluruh rantai, terutama yang berada di sebelah hulu, menjadi
“nervous”. Berbeda halnya dengan produkproduk fungsional, lean supply chain bukanlah
strategi yang tepat untuk produk-produk inovatif. Keunggulan kompetitif produk
inovatif terletak pada kemampuan supply chain untuk merespon kebutuhan
pasar yang cepat berubah. Kunci keberhasilan disini adalah apa yang dinamakan agility
. Agility untuk suatu supply chain memiliki implikasi kecepatan merespon
kebutuhan pasar secara bersama-sama sebagai suatu tim. Tentu saja, kecepatan
ini harus dimiliki semua pihak yang berada pada rantai supply chain ini.
Distributor yang handal tidak bisa menjamin keunggulan bersaing apabila perusahaan
yang mensuplai produkproduk yang didistribusikannya tidak mampu secara tepat
merespon perubahan yang disyaratkan oleh pasar. Hubungan
antar perusahaan menjadi faktor kritis dalam menciptakan agility sebuah supply
chain. Strategi supply chain yang menekankan pada agility
membutuhkan pola pikir yang cukup berbeda dengan pola pikir untuk strategi supply
chain yang mendasarkan pada efisiensi. Untuk persediaan misalnya,
orientasinya bukan untuk meminimasi ongkos-ongkos persediaan, tetapi lebih pada
keputusan dimana persediaan harus disimpan. Seleksi pemasok tidak didasarkan
pada harga yang ditawarkan, tetapi pada kecepatan dan fleksibilitasnya.
C. Menyeimbangkan Orientasi Pelanggan dan
Pesaing
Mengelola rantai supply chain tidak semudah mengelola
aktivitas-aktivitas dalam satu perusahaan. Kompleksitas permasalahan meningkat
dengan cepat begitu pertimbangan-pertimbangan aliran produk dan informasi
dilihat dalam lingkup keseluruhan supply chain dari ujung hulu ke ujung
hilir. Karena kompleksnya permasalahan pengelolaan tersebut, banyak sekali
jebakan-jebakan yang bisa mengakibatkan kegagalan pengelolaan sebuah supply
chain. Lee dan Billington (1992) mendeskripsikan 14 jebakan yang harus
diperhatikan dalam SCM, yaitu :
1. Pengukuran kinerja yang tidak terdefinisikan dengan baik, setiap channel
menggunakan ukuran sendiri-sendiri, dan tidak ada perhatian untuk
membuat “joint metrics” yang mengukur kinerja rantai secara keseluruhan.
2. Customer
service tidak didefinisikan dengan jelas, dan tidak ada pengukuran terhadap kelambatan
respon dalam pelayanan, tidak ada pengukuran terhadap backorder profile,
dan sebagainya.
3. Status data
pengiriman yang tidak akurat dan sering terlambat
4. Sistem informasi tidak efisien
5. Dampak ketidakpastian diabaikan.
6. Kebijakan inventori terlalu sederhana, faktor-faktor ketidak-pastian tidak
diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan tersebut, kadang-kadang
terlalu statis.
7. Diskriminasi terhadap internal customer. Prioritasnya rendah, service level-nya tidak terukur,
sistem insentifnya tidak erat.
8. Koordinasi antar aktivitas suplai, produksi, dan pengiriman tidak bagus.
9. Analisis metode-metode pengiriman tidak lengkap, tidak ada pertimbangan efek
persediaan dan waktu respon.
10. Definisi ongkos-ongkos persediaan tidak tepat.
11. Ada kendala komunikasi antar organisasi.
12.Perancangan produk
maupun proses tidak memperhitungkan konsep supply chain.
13. Perancangan dan
operasional supply chain dibuat secara terpisah
14. Supply chain tidak
lengkap, fokusnya sering hanya pada operasi internal saja,
tidak bisa membedakan antara pelayanan terhadap : immediate customers” dengan “end customers”.
Perkembangan-perkembangan terbaru dalam
SCM akan bermunculan, Supply Chain Management, yang baru saja mencapai
masa keemasannya, akan cepat terdengar usang, “Saat ini menjadi competitive
advantage , nanti akan menjadi competitive imperative” , Demikian Nichale Hammer, profesor di MIT Menggambarkannya. SCM akan segera
menjadi keharusan bagi setiap perusahaan yang ingin bertahan, bukan bagi
perusahaan yang ingin memimpin kompetisi di pasaran. Seiring dengan menyebarnya
konsep-konsep SCM di dunia industri, baik jasa maupun manufaktur, konsepkonsep yang
lebih canggih yang merupakan pengembangan dari SCM akan bermunculan, yaitu:
1. Fourth Party
Logistics (4PL), dikembangkan oleh Anderson
consultant. Konsep : Memanfaatkan pihak ketiga untuk mengatur/memanaje hubungan
antara sebuah perusahaan manufaktur dengan perusahaan shipment.
2. JIT II,
dikembangkan oleh Bose corporation Prinsip
JIT II : Adanya kemitraan yang erat antara perusahaan dengan pemasoknya. Pemasok,
pada konsep JIT II ini, akan memiliki wakil di perusahaan yang disuplainya. Wakil
tersebut nantinya akan punya otoritas untuk membuat order bahan baku atau
komponen yang disuplai oleh perusahaannya, menggantikan peran bagian pembelian
yang ada pada praktek yang lumrah dewasa ini.
3. Vendor Managed
Inventory (VMI), yang merupakan salah satu variasi dari JIT II. Konsep ini
banyak digunakan oleh para pemasok yang mensuplai ritel. Selama ini ritel
berkewajiban untuk membuat order pembelian untuk menjaga kelangsungan ketersediaan
setiap item yang dijual. Pada VMI, pemasoklah yang nantinya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk menentukan kapan suatu item harus dikirim ke ritelnya, berdasarkan informasi tingkat penjualan dan ketersediaan stok
yang ada di ritel tersebut.
4. Global Pipeline Management (GPM). Hewitt (1999) menuliskan bahwa kelemahan
utama dari SCM adalah kebutuhan untuk melakukan koordinasi rencana-rencana
kerja antar pihak-pihak yang berbeda organisasi. Banyak organisasi yang gagal
mengimplementasikan SCM karena ketidakmampuannya melakukan koordniasi antar
organisasi. Konsep GPM didasarkan pada teori kontrol, dimana aliran
material/produk akan optimal bila dikontrol dari satu titik. Sejalan dengan
konsep ini, GPM merekomendasikan bahwa aliran material/produk hendaknya dikendalikan
oleh satu pihak atau channel dalam supply chain dan semua channel yang
lain mengikuti dan mendukung dengan memberikan informasi yang diperlukan. U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar